Merawat Marwah Prajurit TNI: Bersama Rakyat 80 Tahun Pengabdian Suci demi Kedaulatan Negeri

l

Oleh: Erwin Satrio

Delapan puluh tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) hadir sebagai saksi sejarah bahwa kedaulatan bangsa tidak pernah berdiri sendiri. TNI lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan melindungi rakyat. Dari hutan gerilya hingga ruang siber, jati diri TNI tetap sama: tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.

Kini, di tengah pusaran globalisasi dan kompetisi geopolitik, TNI menghadapi dua tantangan utama. Pertama, menjaga marwah prajurit agar tidak tercoreng oleh politik praktis, gaya hidup konsumtif, maupun kepentingan individual. Kedua, memperkuat interoperabilitas alutsista dari berbagai negara produsen agar sistem pertahanan mampu beroperasi terpadu, efektif, dan berdaya gentar.

Warisan Pangsar Sudirman: Kompas Moral Prajurit

Bacaan Lainnya

Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah berpesan: “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah, walaupun hanya sebuah gubuk.” Pesan sederhana ini menegaskan bahwa kekuatan TNI tidak terletak pada kemewahan fasilitas, melainkan pada pengabdian dan kesederhanaan.

Bagi Pangsar Sudirman, kehormatan prajurit bukan diukur dari pangkat atau senjata, melainkan dari keberanian berkorban demi bangsa. Nilai luhur inilah yang harus tetap menjadi kompas moral agar TNI tidak kehilangan marwahnya di tengah modernisasi pertahanan.

Kamnas Bukan Kamtibmas

Dalam wacana publik, sering kali keamanan nasional (Kamnas) dipersempit menjadi sekadar keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Padahal, Kamtibmas berfokus pada ketertiban umum dan penegakan hukum di masyarakat. Sementara itu, Kamnas merupakan strategi besar yang mencakup upaya menjaga kedaulatan, melindungi rakyat, menjamin keberlanjutan pembangunan, serta memperkuat ketahanan nasional. Menyamakan keduanya sama saja mereduksi makna pertahanan negara yang sejatinya bersifat menyeluruh.

Ancaman Multidimensi: Laut, Darat, Udara, Siber

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia menghadapi ancaman yang bersifat multidimensi:

Laut: illegal fishing, konflik perbatasan, rivalitas Indo-Pasifik.

Darat: infiltrasi, terorisme, perang kota, hingga bencana alam.

Udara & Antariksa: rudal balistik, drone, hingga peretasan satelit.

Siber & Non-Tradisional: perang informasi, krisis energi, bioterorisme, serta kerentanan pangan.

Dua ancaman faktual yang paling nyata adalah:

  1. Chaos Chamber Digital – algoritma media sosial yang memicu polarisasi, mobilisasi massa, bahkan kekacauan sosial. Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa meruntuhkan legitimasi negara.
  2. Perang Narkoba Global – jaringan kartel internasional menargetkan generasi muda Indonesia. Penyalahgunaan narkoba bukan sekadar kriminalitas, melainkan strategi sistematis untuk melemahkan daya juang bangsa.

Strategi Pertahanan Berlapis

Untuk menjawab ancaman tersebut, strategi pertahanan harus dirancang berlapis dan berkesinambungan:

  1. Pemetaan ancaman secara menyeluruh agar respons bersifat antisipatif, bukan reaktif.
  2. Penetapan cara bertindak, mulai dari kontra-narasi digital, operasi gabungan anti-narkoba, hingga kesiapan tempur lintas matra.
  3. Organisasi terintegrasi, melibatkan TNI, Polri, BIN, Bakamla, dan lembaga sipil dalam sistem komando yang adaptif.
  4. Doktrin dan SOP berkelanjutan, yang terus disesuaikan dengan dinamika zaman.
  5. Modernisasi prajurit, bukan hanya alutsista, tetapi juga mental, profesionalisme, dan literasi teknologi.

Lima Pilar Pertahanan Nasional

  1. Laut Nusantara – laut sebagai beranda depan bangsa dijaga oleh armada TNI AL yang kuat, didukung masyarakat maritim dalam sistem deteksi dini.
  2. Gerilya Darat Modern – menggabungkan taktik klasik dengan operasi konvensional dan perang kota berbasis teknologi.
  3. Pertahanan Udara & Antariksa – membangun radar nasional, sistem pesawat tempur terintegrasi rudal berlapis, anti-drone, serta satelit dan roket buatan sendiri.
  4. Pertahanan Rakyat Semesta (PRSEM) – TNI sebagai inti, rakyat sebagai cadangan. Kemandirian pangan, energi, dan media nasional diperkuat untuk melawan disinformasi.
  5. Pertahanan Algoritma & Media – kemampuan nasional dalam mengendalikan, menetralkan, dan mematahkan serangan algoritma digital serta manipulasi media. Pilar ini krusial untuk mencegah chaos chamber, polarisasi sosial, dan perang opini yang bisa melumpuhkan legitimasi negara.

Interoperabilitas Alutsista: Cermin Kemandirian

Keragaman alutsista dari Amerika, Rusia, Eropa, Korea, Turki, hingga Tiongkok memang memperkuat arsenal, tetapi juga menghadirkan tantangan interoperabilitas. Tanpa integrasi, kekuatan tempur bisa tereduksi.

Solusinya adalah membangun sistem nasional yang mampu menghubungkan teknologi berbeda, memperkuat industri pertahanan dalam negeri, serta menggelar latihan gabungan lintas matra secara rutin. Interoperabilitas bukan hanya soal teknis, melainkan simbol kemandirian bangsa.

Menjaga Marwah Prajurit

Modernisasi pertahanan tidak boleh mengikis nilai pengabdian. Senjata canggih tanpa jiwa prajurit hanyalah besi tua; sebaliknya, jiwa prajurit tanpa dukungan teknologi akan rapuh menghadapi ancaman global.

Marwah TNI hanya akan terjaga jika:

Pemimpin hadir di tengah prajurit sebagai teladan.

Netralitas politik dijaga tanpa kompromi.

Jiwa korsa dipupuk melalui solidaritas, bukan ego sektoral.

Kesejahteraan prajurit diperhatikan secara adil dan merata.

Menuju Indonesia Emas 2045

Visi Indonesia Emas 2045 hanya dapat diwujudkan jika pertahanan nasional dibangun di atas prinsip defensif, modern, adaptif, dan berbasis rakyat. TNI harus disegani di laut, kuat di darat, unggul di udara dan antariksa, serta tangguh di ranah digital dan algoritmik.

Dengan sistem pertahanan berlapis, kesadaran atas ancaman baru, serta marwah prajurit yang tetap terjaga, Indonesia bukan hanya menjaga kedaulatan, tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai bangsa berdaulat dan bermartabat di tengah dinamika global.

Penutup

HUT TNI ke-80 bukanlah seremoni belaka, melainkan momentum untuk mempertegas peran TNI sebagai tulang punggung pertahanan nasional. Pesan Pangsar Sudirman tetap relevan hingga kini: lebih baik hancur lebur daripada kehilangan kehormatan.

Kehormatan itu hari ini diwujudkan melalui sinergi marwah prajurit, interoperabilitas alutsista, kendali atas perang algoritma, dan kesiapan menghadapi ancaman multidimensi—demi Indonesia yang tangguh:

TNI Prima – TNI Rakyat – Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas 2045.”