Oleh: H. Erwin Satrio
Setiap 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini selalu mengingatkan kita pada tragedi kelam G30S/PKI 1965, saat bangsa ini nyaris runtuh akibat konflik politik, krisis ekonomi, perebutan pengaruh global, dan terutama perang propaganda yang memecah rakyat.
Kala itu, Pancasila menjadi tameng terakhir agar Indonesia tidak tercerai-berai. Namun, peringatan ini bukan sekadar nostalgia masa lalu. Kini, di era digital kita menghadapi ancaman baru yang tak kalah berbahaya: algoritma media sosial, hoaks, dan echo chamber yang mampu memecah belah bangsa lebih cepat daripada peluru.
Dari Propaganda 1965 ke Algoritma 2025
Sejarah mencatat tragedi 1965 bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga soal informasi yang dimanipulasi. Media cetak, radio, hingga selebaran kala itu jadi senjata propaganda yang memecah masyarakat.
Enam dekade kemudian, ancamannya punya wajah baru:
Hoaks menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.
Algoritma media sosial mendorong kita hanya melihat opini yang sama, menciptakan polarisasi.
Gen Z, yang paling aktif di ruang digital, justru jadi kelompok paling rawan terjebak provokasi.
Jika pada 1965 kita diguncang propaganda cetak, kini kita menghadapi propaganda algoritma digital negatif.
Belajar dari Nepal: Demokrasi Bisa Runtuh dari Layar Ponsel
Nepal, negara demokrasi muda di Asia Selatan, menjadi contoh betapa berbahayanya polarisasi digital. Generasi mudanya terjebak echo chamber media sosial, hingga demokrasi mereka rapuh bukan karena kudeta militer, tetapi karena perang opini di dunia maya.
Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan serupa.
Pancasila sebagai Kompas Digital
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya mengingatkan kita bahwa Pancasila bukan sekadar simbol sejarah, tetapi juga kompas menghadapi badai digital:
Persatuan melawan polarisasi maya.
Toleransi melawan ujaran kebencian.
Gotong royong digital melawan hoaks dan narasi negatif.
Melalui Gerakan
“AKU CINTA INDONESIA”
( ACI): Gerakan Gen Z Melawan Algoritma Negatif
Sebagai jawaban, untuk menjadi Gerakan nasional yang bisa dijalankan di SMA hingga perguruan tinggi, dengan misi sederhana: menjadikan Gen Z pelopor gotong royong digital sekaligus pengamal nilai Pancasila.
Bagaimana wujudnya?
- Festival Digital Pancasila – lomba konten kreatif tentang toleransi, persatuan, dan anti-hoaks.
- Platform Gotong Royong Digital – ruang kolaborasi online untuk kontra-opini kolektif.
- Duta ACI Gen Z – role model literasi digital yang menyebarkan konten positif.
Kuncinya bukan sekadar menyebarkan pesan baik, tetapi juga memadamkan narasi negatif sejak awal agar tidak berubah menjadi bola salju polarisasi.
Penutup: Dari 1965 ke 2025
Tragedi 1965 memberi pelajaran pahit: bangsa yang lengah terhadap infiltrasi informasi akan mudah goyah.
Kini, ancaman datang bukan dari senjata, melainkan dari disinformasi digital dan algoritma negatif. Dengan Program ACI, generasi muda bisa menjadi benteng baru: menjaga persatuan, melawan hoaks, dan memastikan Pancasila tetap sakti di tengah badai dunia maya.