Lemahnya Rezim Arab Buka Peluang bagi Delusi Netanyahu Bangun Israel Raya

l

Sebagai kekuatan militer paling dominan di Timur Tengah yang tak tertandingi oleh rezim mana pun di wilayah itu. Disokong persenjataan dan financial Amerika Serikat, setiap aktor penguasa Arab berpikir dua kali untuk membantahnya. Dua pilihan akan dihadapi sebagai konsekwensinya, timbulnya pemberontakan domestik atas campur tangan Israel atau serangan langsung ke jantung pemerintahan.

Kondisi ini membuka peluang bagi PM Israel yang memimpin Kabinet Perang, Benyamin Netanyahu, bagi ambisi untuk memperluas wilayah agresi dan menikmati delusi bagi Israel Raya.

Netanyahu baru-baru ini mengatakan kepada sebuah media Israel bahwa ia sedang menjalankan “misi bersejarah dan spiritual”. Ketika ditanya apakah yang ia maksudkan mendukung Israel Raya , ia menjawab: “Sangat mendukung.”

Catatan satu dekade terakhir, gerakan pemukim Yahudi yang didukung oleh Netanyahu mengubah ideologi ekspansionis menjadi kebijakan suci. Gerakan ini mengancam Yordania, Lebanon, Suriah, sebagian Mesir dan Irak. Sementara rezim-rezim Arab itu hanya mampu merespons dengan kata-kata kosong.

Bacaan Lainnya

Pada akhir tahun 2024, sekelompok kecil pemukim radikal Israel sempat menyeberang ke Lebanon dan mendirikan pos terdepan. Kelompok ini dipimpin oleh Gerakan Uri Tzafon, sebuah organisasi Zionis religius yang telah menggelar aksi-aksi menuntut pemukiman Yahudi di Lebanon selatan .

“Permukiman Yahudi adalah satu-satunya yang akan membawa stabilitas dan keamanan regional bagi Negara Israel, bersama dengan ekonomi yang stabil, ketahanan nasional, dan pencegahan,” demikian pernyataan dalam sebuah unggahan Facebook pada bulan Desember 2024.

Unggahan tersebut menyertakan peta Alkitab berjudul “Perbatasan Abraham”, yang menampilkan Israel meliouti seluruh Lebanon, dan sebagian besar Suriah serta Irak .

Di situs webnya, Nachala menjelaskan bahwa tujuannya adalah “mendorong dan membantu pemerintah untuk melaksanakan rencana resmi Perdana Menteri [Israel] Yitzhak Shamir, yang meletakkan dasar bagi 2 juta orang Yahudi untuk menetap di Yudea dan Samaria [Tepi Barat]”.

Berikut adalah wilayah-wilayah yang sering dikaitkan dengan konsep Israel Raya:
Tepi Barat
Jalur Gaza
Yerusalem Timur
Yordania
Beberapa bagian Suriah
Beberapa bagian Lebanon
Beberapa bagian Mesir (Semenanjung Sinai)
Beberapa bagian Irak

Respons Liga Arab terhadap kebijakan yang secara langsung mengancam mereka sangatlah lemah, hal ini tidak mengejutkan mengingat reaksi mereka terhadap genosida Israel di Gaza.

Negara-negara Arab itu penyumbang 12 persen dari penjualan senjata Israel pada tahun 2024. Tidak ada satu pun kemitraan Arab-Israel yang memutuskan hubungan, sejak pecah perang 7 Oktober dan lebih memilih mengeluarkan pernyataan yang hanya terdengar semakin agresif namun tidak mengambil tindakan nyata.

Bahkan setelah serangan ilegal Israel baru-baru ini terhadap Hamas di Qatar , sulit membayangkan negara-negara otoriter Arab akan bertindak lebih dari sekadar gerutuan.

Mereka tersandera oleh pilihan, akankah memutuskan hubungan dengan Washington dan Tel Aviv atau berhenti membeli senjata bagi pertahanan mereka?

Bahkan Netanyahu melontarkan gagasan Israel perlu menjadi “Super Sparta” dengan mengembangkan industri militer yang masif. Ia berpendapat bahwa Israel harus memproduksi persenjataannya sendiri untuk menghindari ketergantungan pada negara asing, sehingga beralih dari ekonomi pasar bebas menjadi ekonomi tertutup dan mandiri. Hal ini, katanya, akan membutuhkan pemangkasan birokrasi dan belanja publik yang drastis.

Pernyataan-pernyataan ini tidak hanya ditujukan kepada negara-negara Arab dan Muslim; tetapi juga ditujukan ke dalam, kepada masyarakat Israel sendiri.

Dalam tahun-tahun mendatang, Israel bersiap menjadi negara paria terisolasi yang terlibat dalam perang tanpa akhir.

Akan kah delusi ambisi Netanyahu dapat terwujud?
Atau, apa yang akan menghentikan Netanyahu, atau pemimpin Israel masa depan, dari membangun pemukiman di Lebanon atau Suriah, atau melakukan petualangan militer di Irak dan Mesir sebagai ambisi delusi Israel Raya?

Sejarah mencatat, penyerahan wilayah yang kelak menjadi Israel dari Kekaisaran Ottoman kepada Inggris terjadi karena kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia I pada tahun 1917, di mana pasukan Inggris merebut Yerusalem dan wilayah Palestina dari kendali Ottoman.

Proses ini dilanjutkan dengan Perjanjian Sevres tahun 1920, yang meresmikan keruntuhan Kekaisaran Ottoman dan menjadikan Palestina sebagai wilayah di bawah Mandat Inggris, belum lagi penyerahan langsung ke negara Israel yang baru akan terbentuk di kemudian hari.

Kekaisaran Ottoman yang menguasai wilayah Palestina dan Yerusalem selama sekitar 400 tahun, dari tahun 1516 hingga 1918. Pada Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman bersekutu dengan Jerman, yang akhirnya kalah perang. Kekalahan ini menyebabkan keruntuhan kekaisaran tersebut.

Pasukan Inggris melancarkan serangan terakhir dan berhasil menduduki ketinggian di sebelah barat Yerusalem. Tentara Ottoman mundur dan kota itu menyerah pada 9 Desember 1917. Wali Kota Yerusalem menyerahkan kunci kota kepada pasukan Inggris, menandai berakhirnya pemerintahan Ottoman di sana.

Deklarasi Balfour pada November 1917 oleh Inggris mendukung pendirian pusat kebangsaan Yahudi di Palestina. Negara Israel baru didirikan dan dideklarasikan pada 14 Mei 1948, setelah berakhirnya Mandat Inggris.

Hingga kini, Israel tidak pernah puas menentukan batas wilayahnya sendiri, dan kini secara terbuka mengancam wilayah-wilayah tersebut. Mungkin ada kesombongan, bahkan kepura-puraan, dalam keinginan Israel untuk memperluas negaranya menjadi kekaisaran Zionis (Israel Raya).

Pemimpin Israel sedang mempersiapkan bangsanya untuk terlibat dalam peperangan tanpa akhir, karena ia berusaha untuk menghilangkan semua hambatan terhadap ekspansionisme agresif Tel Aviv.

Saat para kepala negara berkumpul di Doha minggu ini untuk menghadiri pertemuan puncak darurat Arab dan Islam guna membahas tanggapan terhadap serangan Israel baru-baru ini yang menargetkan negosiator senior Hamas, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bangkit untuk menyampaikan pidato di sebuah konferensi ekonomi di Yerusalem, di mana ia menjelaskan bahwa Israel sedang menuju perang abadi.

Dalam pidatonya ” Super Sparta “, Netanyahu bertujuan untuk memberi isyarat kepada dunia Arab dan Islam bahwa, meskipun ada kecaman dan deklarasi tentang pengekangan Tel Aviv dan pencegahan pengusiran warga Palestina dari Gaza, Israel akan melanjutkan operasi militernya di sana. Dengan bantuan AS memajukan rencana pembersihan etnisnya apa pun resikonya.

Semua ini terjadi sementara tentara Israel terus membombardir Kota Gaza tanpa henti, maju menuju pendudukan besar-besaran dan memaksa dua juta warga Palestina ke wilayah yang semakin sempit dan tidak dapat dihuni.

Upaya pembunuhan para pemimpin Hamas di Qatar bukan sekadar upaya untuk menyerang tim perunding; melainkan upaya untuk menghancurkan gagasan negosiasi itu sendiri.

Keputusan Netanyahu untuk menyerang negara tuan rumah para pihak yang berunding selama masa perang merupakan tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.

Skenario di mana Israel memaksakan penerimaan pengungsi Palestina bagi negara-negara Arab, di luar kehendak mereka, sembari mencaplok Tepi Barat dan Gaza, sedang berlangsung di depan mata. Bahkan ancaman dan tindakan dari negara-negara Eropa, baik melalui embargo senjata, penurunan hubungan diplomatik, maupun penghentian perjanjian perdagangan, tampaknya menjadi tidak efektif untuk mencegah Israel menduduki Gaza setelah mengusir penduduknya.

Israel sedang mengerahkan segalanya, dan Netanyahu cukup arogan dan megalomaniak untuk meyakini ia mampu mencapai visinya. Namun, langkah ke depan akan membebankan biaya yang sangat besar kepada negara-negara Arab, yang kini harus menyadari bahwa Israel bukan lagi hanya ancaman bagi rakyat Palestina, tetapi juga ancaman bagi setiap rezim Arab yang enggan tunduk pada kepentingannya.

Pilihannya sekarang ada di tangan mereka: akankah mereka mengambil langkah yang berarti untuk menghentikan ini?

Oleh: Hasan Munawar (Redaktur Eksekutif)