Oleh: Hasan Munawar
Meskipun ekonomi tumbuh rata-rata di atas 5% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, namun pertumbuhan ekonomi tidak tercermin dalam kondisi riil di masyarakat, pertumbuhan itu belum memberikan perbaikan kondisi bagi banyak warga Indonesia.
Masih banyak keluarga-keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, petani dan nelayan yang sulit menjual hasil panennya, anak-anak kekurangan gizi oleh karena orang tuanya tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, warga yang belum memiliki rumah layak huni, guru yang belum dihargai, serta keluarga yang tak sanggup berobat karena biaya atau kurang layanan fasilitas kesehatan di daerah.
Penurunan taraf hidup masyarakat kelas menengah menjadi kelas bawah dan yang kelas bawah makin terjerembab ke jurang ketidak pastian dalam menjalani hari-harinya.
Pemikiran ini bukan bermaksud sedang mencari kambing hitam untuk disalahkan, akan tetapi kita seyogyanya berani menyatakan yang salah itu salah dan itu sangat berdampak bagi nasib banyak orang.
Selama dua dekade dengan masa puncaknya pada 7 tahun terakhir, kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang yang menjalankan pola ekonomi SERAKAHNOMIK. Kekuatan modal berkolaborasi dengan penguasa untuk saling membagi kue pembangunan bahkan tak segan mengangkangi hukum dan aturan agar mereka leluasa menumpuk keserakahan untuk pribadi, keluarga dan kroni-kroninya hingga tak peduli dengan masa depan bangsa ini akan hancur atau bubar.
Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 33 yang menekankan pengendalian negara atas sumber daya yang berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat serta prinsip-prinsip demokrasi ekonomi didasari atas asas kekeluargaan dimanipulasi menjadi asas konglomerasi.
Oleh karenanya yang kaya sudah tentu akan tambah kaya, sedang yang miskin dipaksa menerima kemiskinan bahkan diturunkan ke anak cucunya menjadi kemiskinan yang makin absolut.
Jika kita menoleh ke belakang, orang yang paling lama mengatur ekonomi dan kebijakan keuangan adalah Sri Mulyani Indrawati. Ia menjabat sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2016 hingga 2025. Ia juga menjabat pada posisi yang sama dari 2005 hingga 2010.
Ia bahkan sempat dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Markets pada 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Ia juga terpilih sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008 dan wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007.
Namun hingga akhir masa jabatannya sebagai menteri keuangan kabinet Merah Putih Sri Mulyani dinilai telah membawa Indonesia jauh dari apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Kebijakannya lebih banyak berpihak kepada sistem kapitalis dengan arah pergerakan fiskal dan moneter yang tidak menyentuh rakyat bawah. Tentu saja dalam hal ini ia tidak sendirian, seorang menteri mengemban tugas sebagai pembantu presiden. Namun demikian ia memiliki otoritas dalan menentukan kebijakan fiskal dan moneter.
Selama lebih dari 15 tahun, Sri Mulyani dinilai sangat ketat menjaga kestabilan moneter dengan menjaga devisa dan stok uang di bank central. Hampir semua usulan program taktis yang dapat menggerakkan likuiditas keuangan seringkali ditahan oleh Sri Mulyani. Ia cenderung lebih kepada langkah pengamanan ekspansi keuangan untuk pembangunan infrastruktur dan investasi jangka panjang yang mana ini ditengarai merupakan tekanan dari Bank Dunia dan IMF juga para negara kapitalis.
Sehingga ketika infrastruktur itu tidak berkesesuaian antara perencanaan dengan target hasilnya memunculkan ekonomi yang stagnan dan cenderung terpuruk oleh karena investasi yang tidak efektif dan mengakibat jurang hutang yang semakin dalam.
Ketika rezim berganti dengan melihat kondisi yang ada maka memaksa untuk memilih, keberlanjutan atau reformasi sistem yang rusak akut.
Dalam pidato di depan MPR RI pada 16 Agustus 2025, Presiden RI ke 8, Prabowo Subianto secara lantang dan tegaa akan melakukan pembenahan sistem ekonomi sekaligus menegakkan hukum bagi para perampok kekayaan negara.
Ini tidak lah semudah membalikan telapak tangan, Prabowo paham betul siapa dan bagaimana resiko yang akan dihadapi. Namun beberapa bulan dari masa kepemimpinannya sudah nampak langkah kongkrit pembenahan sistem ekonomi dan penegakan hukum, dua hal yang menjadi pondasi yang harus dibangun kokoh di dalam sistem negara.
Dua kali reshuffle kabinet yang dilakukan cukup memenuhi apa yang menjadi harapan rakyat. Beberapa menteri dan pejabat taktis di perekonomian diganti, seperti misalnya menteri keuangan Purbaya Yudi Sadewa yang menggantikan Sri Mulyani.
Kita melihat ada sentuhan yang berbeda dari langkah kebijakan Purbaya dengan Sri Mulyani. Apa yang selama ini dijalankan secara konstan oleh Sri Mulyani justru sebaliknya tidak dijalankan. Apa yang tidak jalankan oleh Sri Mulyani justru dijalankan oleh Purbaya.
Contoh, amnesti pajak dilakukan oleh Sri Mulyani, Purbaya tidak melakukannya. Menurut Purbaya, amnesti pajak bukan akan menambah orang taat membayar pajak sehingga pendapatan dari pajak meningkat.
Menurut Purbaya, penerapan amnesti pajak berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan penerapan pajak. Kebijakan itu bisa memberi sinyal bahwa pelanggaran pajak diperbolehkan karena akan terus ada pengampunan.
Lagi pula yang merasakan amnesti pajak tentu kalangan atas, bukan rakyat di bawah yang dipaksa berbagi hasil jerih payahnya dengan pemerintah dan jelas itu tidak berpihak.
Lain dari pada itu, Kebijakan yang menjaga kestabilan moneter Sri Mulyani justru diperuntukan bagi para konglomerat. Kebutuhan likuiditas untuk pergerakan ekonomi kecil menengah ditahan-tahan. Rakyat dinina bobokan dengan program populis yang usang dan rapuh, yaitu bansos dan sejenisnya.
Sedangkan Purbaya menggerakkan ekonomi rakyat dengan menggeser stok uang di bank sentral ke bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara, yang beranggotakan bank-bank BUMN).
Dana sebesar Rp 200 triliun dari bank sentral disebar ke bank-bank Himbara sebagai berikut:
Bank Mandiri: Rp 55 triliun
BRI: Rp 55 triliun
BNI: Rp 55 triliun
BTN: Rp 25 triliun
BSI: Rp 10 triliun
Tujuan Kebijakan Purbaya ini untuk
meningkatkan likuiditas serta penurunan suku bunga. Sehingga diharapkan akan meningkatkan ketersediaan dana di sistem perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan dasar yang kemudian muncul mengarah kepada teka-teki apakah negara ini sesungguhnya selama ini punya uang atau tidak. Mengapa ketika Purbaya dilantik sebagai Menteri, lalu tiba-tiba kita tahu bahwa negara ini punya uang.
Ataukah selama ini Sri Mulyani berpihak kepada kepentingan asing dan para taipan oligarki?
Namun di luar dari pertanyaan itu, apa yang sebagian besar rakyat merasakan betapa sulitnya menjalankan usaha, mencari nafkah dan bertaruh dengan peluang-peluang adalah dampak dari kebijakan ekonomi 15 tahun terakhir.
Rakyat sungguh merasakan uang yang diperoleh dari hasil usaha tidak imbang nilainya dibanding dengan harga kebutuhan dasar hidup yang harus dipenuhinya.
Sekali lagi ini bukan sedang menjustifikasi seseorang, karena seorang menteri tidak secara absolut melakukan kesalahan sendirian. Masih ada orang yang paling bertanggung jawab atas kondisi ini. Dan itu adalah kepala pemerintahan tujuh tahun terakhir.
Siapa dia? anda pasti punya jawabannya.
Oleh: Hasan Munawar