INTIP24NEWS | OPONI – Diawali pada masa pergerakan nasional Budi Utomo, adanya pers menjadi sarana berkomunikasi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Ketika itu pers digunakan untuk mencatat perkembangan yang sedang berlangsung dan diwujudkan dalam bentuk majalah dan surat kabar.
Surat kabar pertama pada masa itu, yaitu Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit 7 Agustus 1774. Kemudian muncul beberapa surat kabar berbahasa Melayu, antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907), hingga era revolusi pisik.
Pada masa penjajahan Jepang, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya.
Dengan demikian, pada zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Berita-berita yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Memasuki persiapan kemerdekaan, peranan yang telah dilakukan oleh pers kita sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi.
Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita.
Periode selanjutnya yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin, sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965. Pada era Orde Lama ini lahirlah Dewan Pers.
Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968, pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 12 Desember 1966.
Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Sedangkan Ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1)).
Pada masa orde baru, pers di Indonesia menganut sistem pers otorarian dimana pers Indonesia condong mendukung pemerintah. Namun, setelah orde baru ini berakhir pers Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini menjadi titik terang karena merupakan awal dari perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Pihak insan pers dapat melakukan kegiatan pers leluasa tanpa campur tangan pemerintah tetapi tetap bertanggung jawab.
Indonesia merupakan negara demokrasi, namun kenyataannya selama rezim orde baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai suka mengkritik penguasa bisa dikenakan pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kebebasan pers, antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan- Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu- satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Adapun kebebasan atau kemerdekaan pers diatur dalam pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.
Terjadilah perubahan yang fundamental, melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden BJ. (Bacharudin Jusuf) Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen.
Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.
Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru.
Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen.
Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.
Anggota Dewan Pers yang independen, menurut UU Pers Pasal 15 ayat (3), dipilih secara demokratis setiap tiga tahun sekali, yang terdiri dari: “(a) Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; dan (c) Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”.
Dari proses penyusunan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers diketahui, semula Dewan Pers ingin ditempatkan pada posisi sebagai lembaga yang sepenuhnya berwenang membuat peraturan-peratuan di bidang pers.
Tetapi, trauma dari masa lalu menimbulkan ketakutan jika Dewan Pers diberikan kewenangan seperti itu akan dapat berubah menjadi lembaga yang otoriter. Bahkan, bukan tidak mungkin, suatu saat juga kembali menjadi seperti Dewan Pers yang lama yang tidak demokratis.
Oleh karena itu kewenangan membuat peraturan perundang-undangan tidak hanya diberikan kepada Dewan Pers begitu saja melainkan melibatkan pula organisasi-organisasi pers untuk ikut menyusun peraturanperaturan di bidang pers. Itulah sebabnya dalam rumusan Pasal 15 ayat 2 huruf f akhirnya dipakai istilah “memfasilitasi organisasiorganisasi pers”, bukan dengan menggunakan kata “membuat”.
Dalam “memfasilitasi” organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers, Dewan Pers pada tahap awal memfasilitasi
peraturan-peraturan yang dapat melengkapi Undang – Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga mekanisme dalam Undang-Undang tentang Pers dapat berjalan baik.
Adapun yang telah dihasilkan oleh Dewan Pers dalam memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, antara lain:
a. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Ogranisasi Wartawan.
b. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers.
c. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
d. Peraturan Dewan Pers tentang Perlindungan Wartawan.
e. Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Hak Jawab.
f. Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa.
g. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan dan lain-lain.
Pada Ahad, 2 Mei 2021 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar aksi yang bertajuk Bike4PressFreedom di Patung Kuda, Jakarta Pusat dalam rangka perayaan hari kebebasan pers dunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei.
Dalam aksi gowes bareng ini AJI memiliki 3 tuntutan yaitu yang pertama tentang pemberhentian dari segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan usut tuntas semua kasus kekerasan pada jurnalis, kedua yaitu AJI Jakarta mendesak pemerintah agar merevisi UU ITE khususnya pada pasal-pasal karet yang memberangus kebebasan pers, dan yang ketiga yaitu AJI Jakarta mendesak agar perusahaan media menjamin hak bagi para pekerjanya, khususnya di masa pandemi Covid-19.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah meskipun sudah ada Undang-Undang yang menjamin kebebasan pers, tetapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tertinggi dibanding negara lain karena masih perlu perbaikan dari kebijakan yang ada dan diperlukan adanya revisi terhadap peraturan yang dianggap masih mengekang kebebasan pers di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, terdapat 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2017. Diantaranya mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran dan pelarangan peliputan.
Dengan semangat kebebasan pers yang telah melewati perjalan panjangnya, dari masa sebelum kemerdekaan, dilanjutkan masa revolusi pisik, orde lama, orde baru dan kini pasca reformasi, Dewan Pers diharap menjalankan fungsi sesuai kodrat kelahirannya, yaitu menjadi Dewan Pers (yang) Independen.
Penulis: Hasan Mumawar
Redaktur Executif intip24news.com
Sumber: lpmomentum.com, wikipedia






































