Setiap Kekuasaan Harus Dikawal dan Setiap Kebijakan Tak Harus Selalu Dibenarkan

Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia sepuluh tahun lalu diharapkan bakal menjadi episode menarik dalam sejarah bangsa ini. Sebab tak terbayangkan sebelumnya, bahwa akan muncul seorang pejabat negara, dan pejabat itu seorang presiden, ketika tampil di tengah masyarakat yang dipimpin tanpa harus mematut-matut kan diri baik soal penampilan maupun bahasa yang digunakan, sebagai mana umumnya pejabat negara yang selalu tampil prosedural protokoler dengan property dan asoseris yang dapat menjauhkan diri dari rakyat yang dipimpinnya.

Nampakmya persepsi terhadap sosok seorang presiden telah diubah oleh pendekatan dari penampilan dan gimmik Presiden Jokowi.

Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di dunia yang konon hanya bisa disetarakan dengan Amerika Serikat. Negara Paman Sam yang dijuluki sebagai dedengkot demokrasi di dunia itu butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk menjadi negara demokrasi seperti sekarang.

Lain hal dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang nota bene kebanyakan Negara Islam menganut sistim kerajaan atau kesultanan, hanya dalam tempo singkat telah mampu membangun demokrasi dan budaya ber-demokrasi, Indonesia juga membangun sistim demokrasinya sendiri.

Bacaan Lainnya

Tentu saja ini mengundang decak kagum bangsa-bangsa dunia. Keberhasilan ini, tak terbantahkan adalah merupakan sumbangan terbesar dari umat Islam Indonesia.
Sebut saja, Pemilihan umum yang aman itu, adalah merupakan sumbangan besar dari umat Islam yang menjadi warga terbesar negeri ini.

Kita patut bersyukur kepada Allah SWT bahwa Indonesia telah melalui dan menjalaninya dengan baik dan sukses.
Pemilu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Pemilu 2014-red) adalah Pemilu paling sukses membangun demokrasi, Bahkan Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu dan melakukan transisi kepemimpinan (suksesi) dengan cara demokratis, aman dan damai. Sebuah pencapaian yang luar biasa, karena Indonesia sebagai sebuah megara, baru belajar demokrasi pada tahun 1999.

Namun seiring waktu berlalu dan proses berjalan, ujian dan godaan menerpa kehidupan demokrasi. Kenakalan dan kegenitan dari syahwat kekuasaan memasuki ruang-ruang bernegara kita. Praktik budaya politik transaksional mulai tumbuh marak dalam demokrasi yang baru saja memberikan secercah harapan.

Fungsi-fungsi kontrol kekuasaan menjadi tumpul oleh karena pembagian kue kekuasaan hampir dikatakan merata, baik pada Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Walhasil kecendrungan untuk memertahankan status quo menjadi melebar di semua elemen penyelenggara pemerintahan.

Yang lebih celakanya, munculnya persepsi yang keliru di mana jika tidak dilarang oleh undang-undang maka itu dibolehkan. Padahal undang-undang tidak bisa mengatur semuanya. Pada titik itu etika bernegara mulai dilanggar, kebijakan yang tidak etis mulai dipaksakan untuk diberlakukan.

Kita menyaksikan, bagaimana sebuah kekuasaan dibiarkan berjalan tanpa adanya pengawalan dari sistim kontrol dan pengawasan. Lembaga kontrol dan pengawasan telah dibuat mandul oleh pembagian kue kekuasaan tadi. Praktis suara-suara kritis termarjinalkan di sudut-sudut dan lorong sempit dalam tekanan dari kekuatan yang sudah terlanjur selalu dianggap benar dan harus dipatuhi kebenarannya.

Hari-hari berikut ini adalah proses transisi sepuluh tahun pemeritahan Presiden Joko Widodo kepada Presiden Terpilih Prabowo Subiamto. Salah satu ‘catatan penting’ nya adalah betapa sendi-sendi demokrasi dan bernegara telah terdistorsi oleh upaya yang sempat dilancarkan oleh Jokowi untuk memperpanjang kekuasaanya.

Terlepas itu keinganan Jokowi sendiri atau pun pihak lain agar kekuasaannya bisa diperpanjang, kondisi ini memperlihatkan bagaimana konstitusi sudah tidak diindahkan lagi, hukum tidak dijadikan panglima dan etika menjadi terlupakan atau sengaja diabaikan.

Kita berharap agar transisi periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto yang akan memegang tampuk kekuasaan pada periode 2024 hingga 2029 dapat berjalan mulus dan lancar agar demokrasi tak semakin memburuk. Pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bertumpuk harapan yang diletakan bahwa Prabowo dapat memperbaiki kerusakan yang telah menerpa di hampir semua aspek kehidupan bernegara.

Selain sebagai seorang yang telah matang di pemerintahan, Prabowo juga dikenal seorang prajurit yang bersinar pada masanya dengan torehan keberhasilan memimpin beberapa operasi militer yang tercatat dalam lembar sejarah negeri ini. Pada dirinya tersemat julukan Sang Macan dan pada Sang Macan diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia kembali dihargai di mata dunia. Karena bagaimanapun juga dan dalam kondisi apapun Macan tetaplah Macan dan tak mungkin macan menjadi kucing.

Namun demikian, kekuasan tetap harus dikawal dengan kontrol dan pengawasan dari lembaga-lembaga yang diisi oleh orang-orang yang kredibel dan berintegritas. Lembaga legislatif yang menjadi kepanjangan-tangan dari kedaulatan rakyat.

Setiap langkah kebijakannya tak selalu harus dibenarkan tanpa adanya kontrol dan pengawasan, demi tetap tegaknya demokrasi dan cita-cita dari demokrasi itu sendiri… dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Tulisan ini adalah buah pikiran KH Ronggosutrino Tahir sepuluh tahun yang lalu, digubah dan ditulis kembali oleh Hasan Munawar, Redaktur Eksekutif dan Pendiri Media INTIP24 News

Pos terkait