Fenomena Peningkatan Suhu, BKMG: Butuh Kesadaran dan Aksi Nyata

JAKARTA | INTIP24 News – Fenomena peningkatan suhu di perkotaan yang disebut Urban Heat Island (UHI)melanda kota-kota di berbagai wilayah Indonesia. Hal itu membutuhkan aksi mitigasi untuk mengatas dampak bahayanya.

Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, termasuk dalam 20% kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar.

Demekian diungkapkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam keterangan di situs resmi, dikutip Minggu (30/6/2024).

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, Urban Heat Island merupakan fenomena alam berupa tingginya temperatur daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.

Bacaan Lainnya

“Peningkatan suhu yang terkait dengan fenomena UHI perkotaan bervariasi tergantung pada tutupan lahan. Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca,” sebutnya.

Selain itu, dia menambahkan, UHI dipicu oleh perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun menambah parah terjadinya peningkatan suhu perkotaan.

“UHI ini harus kita mitigasi bersama. Perlu kesadaran dan aksi nyata untuk menghadapi UHI ini,” ujarnya.

Hal itu disampaikan saat menggelar Workshop Urban Heat Island 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) baru-baru ini.

“Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan. Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, termasuk dalam 20% kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar. Permukaan yang kedap air dan lebih sedikit vegetasi menambah efek dari UHI tersebut,” terangnya.

Perubahan lingkungan urban telah menciptakan kondisi iklim spesifik di wilayah perkotaan yang berbeda dengan wilayah sekitarnya, menciptakan fenomena khusus Urban Heat Island,” kata Dwikorita.

Dwikorita pun mengutip Badan Meteorologi Dunia (WMO) yang menyatakan, tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental.

“Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri. Angka ini nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius,” paparnya.

“Pada tahun 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa,” tambahnya.

Untuk itu, imbuh dia, diperlukan langkah bersama untuk mengatasi peningkatan suhu yang tengah terjadi.

“Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata. Maka dari itu, perlu langkah atau gerak bersama seluruh komponen masyarakat, tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, LSM, dan lain sebagainya termasuk anak-anak muda,” ujar Dwikorita.

“UHI memperkuat dampak perubahan iklim di wilayah perkotaan, dan BMKG terus berkontribusi dengan memberikan layanan informasi iklim sektoral untuk wilayah urban. Informasi ini krusial untuk membantu upaya mitigasi dan adaptasi yang tepat sasaran,” pungkasnya.

Pos terkait