(Sebuah harapan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto)
lOeh: KH Ir Ronggosutrisno Ta’in
Di awal tahun 2002 adalah masa-masa puncak kegelisahan Presiden ‘non” Megawati Soekarnoputri terhadap maraknya korupsi yang nyaris menjadi serius sebagai penghambat proses mensejahterakan rakyat.
Dari kondisi itu maka muncul pemikiran bahwa Indonesia butuh institusi atau lembaga yang dihajatkan untuk menangani (memberantas) masalah korupsi.
Megawati sebagai presiden kala itu, setelah menyimak lalu mendalami hiruk pikuk masalah korupsi diantara para tokoh dan budayawan nasional, selaku presiden membenarkan sinyalemen dan kajian para tokoh nasional yang memberikan buah pikiran dan gagasan bahwa korupsi merupakan sebuah kejahatan yang serius dan menggelisahkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kala itu korupsi hampir-hampir berada di dalam tiap proses penyelenggaraan bernegara, dari pusat hingga daerah. Dan Megawati saat itu menganggap institusi Kejaksaan dan Kepolisian Negara dinilai tidak bisa menangani korupsi yang kian menggila ini.
Sementara institusi kepolisian sedang berada dalam proses Grand Strategi 25 tahun dari tahun 2000-2025 dengan persoalan di internal lembaga Bhayangkara negara ini. Yang mana dari proses Grand Strategi tersebut diharapkan tahun 2025 institusi kepolisian bakal menjawab berbagai macam tantangan persoalan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar itu lah,
Sangat mendesak adanya lembaga yang menangani masalah korupsi secara lebih terfokus dan komprehensif, dan puncak kegelisahan Megawati sebagai presiden saat itu menginisiasi berdirinya lembaga negara baru yang menangani masalah korupsi. Lembaga ini yang kemudian dibentuk berdasarkan Undang Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akhirnya Indonesia memiliki satu lembaga yang bertugas sebagai pencegah dan pemberantasan korupsi. Lembaga itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam perjalannya, lembaga ini, awalnya membuat takut para koruptor dan sudah banyak kasus korupsi yang dibongkar serta cukup banyak para koruptor yang dijerat hukum.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, KPK menghadapi berbagai argumentasi perlawanan dan penolakan dalam proses bernegara dari tokoh dan lembaga negara lainnya, sehingga kemudian KPK menghadapi proses pelemahan dalam penegakan hukum oleh reaksi yang datang dari berbagai kepentingan tadi . Sudah barang tentu, akibat proses pelemahan ini pastinya disertai hidupnya kembali sikap kebijakan yang berbau kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang sebelumnya sempat lari tunggang langgang pasca Reformasi tahun 98.
Dari sini nampak sekali persoalan KKN telah mendarah daging dalam praktik birokrasi bernegara sehingga temtu saja menghambat efektivitas upaya pemberantasan korupsi itu sendiri
Dapat ditarik benang merah kesimpulan terkait keberadaan lembaga yang diberi amanah untuk memberantas korupsi ialah adanya keterbatasan kelembagaan, keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan anggaran, serta dukungan politik, dan kultur hukum. Lebih dari itu soal lemahnya etika dan moral penegak hukum sendiri justru jadi penyebab pemberantasan korupsi di Indonesia sulit ditegakkan.
Atas kenyataan ini semua, di sisi lain bahwa Tahun 2025 merupakan tahun terakhir dari RENSTRA POLRI DARI TAHUN 2000-2025. Artinya mengapa PEMERINTAHAN PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO kelak tidak mempersiapkan Polri memegang kendali pemberantasan korupsi. Sebuah pertanyaan sekaligus harapan…
KH Ir Ronggosutrisno Tain BcHk
(Pembina dan Penasehat INTIP24 News)