INTIP24 News – Diawali militer Israel membombardir 300 target instalasi militer Suriah, lapangan udara dan pelabuhan di seluruh negeri itu Mereka menduduki puncak tertinggi di Gunung Hermon, pegunungan yang mendominasi bagian perbatasan Suriah dengan Lebanon.
Pada hari Senin berikutnya, Israel meluluh lantahkan gugus armada angkatan laut Suriah di pelabuhan Latakia.
Tank-tank Israel kemudian memasuki wilayah Suriah. Awalnya, IDF mengklaim bahwa mereka hanya akan beroperasi di zona perbatasan demiliterisasi atau wilayah penyangga, tetapi ada beberapa laporan tank-tank Israel masuk ke kota Qatana, 10 km ke wilayah Suriah dan 25 km dari ibu kota Damaskus.
Jelas, Israel yang selalu memcari cara membuka front militer baru, ingin melakukan terhadap negara berdaulat apa yang telah dilakukannya terhadap Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, yaitu Suriah.
Serangan militer Israel di Suriah bisa jadi merupakan bagian dari rencana Barat untuk menjinakkan para pemberontak sejak hari pertama. Namun, apa yang dilakukan tank-tank Merkava akan menentukan kebijakan luar negeri pemimpin pemberontak Mohammad Abu Jolani, bahkan sebelum ia mulai memerintah Suriah.
Tidak lah warga Suriah, apa pun faksinya, apalagi Suriah yang beraliran Islam, yang akan mentolerir apa yang dilakukan Israel terhadap kemampuannya mempertahankan wilayahnya sendiri.
Hamas, misalnya, yakin ke arah mana pemberontak Suriah akan berbalik melawan pembebasan Palestina yang diduduki, bahkan sebelum rezim baru memiliki wilayah baru untuk diperintah.
Latar belakan pemimpin koalisi pemberontakan di Suriah, seperti yang tersirat pada namanya, keluarga Jolani berasal dari Dataran Tinggi Golan yang diizinkan Donald Trump untuk dianeksasi oleh Israel pada masa jabatan pertamanya.
Dengan latar belakangnya di al-Qaeda, Jolani tidak akan menjadi pemimpin yang mudah diintimidasi oleh tank-tank Israel, kecuali tentu saja dia adalah orang berikutnya dalam daftar target pembunuhan mereka.
Sebab jika ini memang menjadi awal babak baru dalam Musim Semi Arab, setidaknya satu pelajaran penting akan telah dipelajari.
Dalam pada itu, pernyataan dari Hamas yang dikeluarkan pada hari Senin mengungkapkan: “Suriah akan melanjutkan peran bersejarah dan krusialnya dalam mendukung rakyat Palestina dan perlawanan mereka untuk mencapai tujuan perjuangan mereka yang adil, sambil mengonsolidasikan peran kepemimpinan Suriah di negara-negara Arab dan Islam, serta di tingkat regional dan internasional.”
Seorang narasumber senior Palestina, yang mengetahui jalan pikiran gerakan tersebut, mengatakan: “Setiap orang bebas di dunia seharusnya senang dengan apa yang terjadi di Suriah, entah mereka Kristen, Yahudi, atau Muslim, karena situasi di Suriah sangat, sangat jelas.
Ia mengatakan, Hamas tidak hanya mendukung pemberontak Suriah. Hamas “senang” karena rakyat menunjukkan bagaimana mereka dapat menggulingkan rezim dan bahwa Musim Semi Arab dan perjuangan Palestina adalah sama, yaitu perjuangan melawan kediktatoran dan penjahahan.
Pernyataan Hamas itu didasari pada perbedaan antara perlawanan yang didukung oleh seluruh rakyat, dan kepentingan nasional kekuatan asing – Iran. Keduanya tidak boleh disamakan.
“Perubahan semestinya didorong oleh rakyat. Perubahan tidak didorong oleh kekuatan asing.
Selain itu, ia mengingatkan bagaimana Assad tidak memainkan peran apa pun dalam konfrontasi dengan Israel, yang mana menyerang target-target Hizbullah dan Garda Revolusi Iran (IRGC) di Suriah sesuka hati, tanpa takut akan adanya tanggapan dari mikiter Assad.
Apakah perubahan di Suriah dapat menular?
Peristiwa seismik ini terjadi saat Iran berupaya melancarkan tiga operasi kontraintelijen berbeda guna menghentikan kebocoran intelijen waktu nyata ke Israel: operasi di Iran untuk mengungkap bagaimana pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dibunuh di wisma tamu IRGC; bagaimana Hassan Nasrallah dari Hizbullah dan calon penggantinya dibunuh ; dan bagaimana berbagai serangan diorganisir di Suriah dan Irak.
Tidak dapat disangkal bahwa jatuhnya Assad adalah kerugian strategis yang besar bagi Iran, namun, hal itu masih jauh untuk menghentikan poros perlawanan, karena Hizbullah dan kelompok bersenjata Irak seperti Kataib Hezbollah, dan Ansar Allah (Houthi) di Yaman masih dalam posisi siap bertempur.
Jika mengok ke belakang, para revolusioner Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Tunisia tidaklah cukup revolusioner. Pemberontakan bersenjata tidak ada dalam DNA kelompok itu. Justru sebaliknya, Ikhwanul Muslimin terus terkecoh oleh jaminan dari intelijen militer Mesir, dan khususnya Menteri Pertahanan Abdel Fattah el-Sisi, bahwa militer akan mengizinkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis untuk memerintah.
Pada saat mendiang Presiden Mohamed Morsi menyadari bahwa ia adalah tawanan Sisi, dan itu terjadi jauh sebelum penangkapannya, semuanya sudah terlambat. Revolusi di Mesir dan Tunisia harus membayar mahal karena membiarkan musuh-musuhnya yang nyata tetap bergerak di bawah tanah.
Kelompok Ikhwanul Muslimin hanya bergerak secara politik. Mereka mencoba merakit perangkat yang disebut demokrasi ini, dengan membaca instruksi dengan saksama dan menyatukannya sepotong demi sepotong.
Pertama, majelis konstitusional, lalu konstitusi baru, lalu pemilihan umum bebas. Sementara itu para jenderal tertawa dan menendang konstruksi kardus tersebut dengan sepatu bot berpaku.
Revolusi Suriah adalah bentuk lain dari apa yang terjadi pada Mesir dan Tunisia, jika memang berlanjut seperti awalnya, telah menggulingkan tentara, negara dalam negara, polisi rahasia dengan kekuatan senjata. Suriah dapat memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana gerakan pemberontakam memperoleh legitimasi nasional. Dan keberhasilan di wilayah rapuh ini, di mana para penguasa tidak memiliki legitimasi, dapat menular.
Itulah sebabnya saat ini pasti ada lebih dari satu konspirasi di wilayah tersebut yang diam-diam merencanakan cara untuk menggagalkan sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan sukses satu dekade lalu.
Pada akhurnya, sebagian besar akan tergantung pada rakyat Suriah sendiri. Dan sudah saatnya rakyat Mesir, Yordania, dan Irak memikirkan kembali pemahaman mereka tentang revolusi yang dahsyat.
Revolusi muncul dan menghilang, tetapi tidak mati.
Sumber: Middle East Eye
Editor: Hasan M