Oleh: Hasan Munawar
Saat ini, tidak hanya di Yordania tetapi juga di seluruh dunia Arab tidak seorang pun ingin membicarakan perdamaian di wilayah Palestina pasca perang yang dimulai 7 Oktober setahun yang lalu. Mayoritas orang di sana sekarang berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri pendudukan adalah melalui perlawanan bersenjata, dan itu tidak pernah terjadi, bahkan di antara orang Palestina.
Pendapat itu didasari dari hasil jajak pendapat yang dilakukan di Tepi Barat dan Gaza yang menyebut 65% warga Palestina berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri pendudukan adalah melalui perlawanan bersenjata.
Begitu pun lebih dari 80 persen warga Israel tidak menginginkan solusi dua negara. Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyebut solusi dua negara justru sebagai hadiah bagi terorisme. Jadi, inilah keadaan wilayah itu sekarang.
Komandan Divisi ke-162 Tentara Pertahanan Israel (IDF) Brigadir Jenderal Itzik Cohen mengatakan kepada media Israel bahwa “tidak ada niat untuk mengizinkan penduduk Jalur Gaza utara untuk kembali”, seraya menambahkan bahwa bantuan kemanusiaan akan diizinkan untuk “secara teratur” memasuki wilayah selatan, tetapi “tidak ada lagi warga sipil yang tersisa” di wilayah utara.
Komentarnya buru-buru ditarik kembali karena hal tersebut merupakan bukti de facto dari dua kejahatan perang, yaitu penggunaan kelaparan sebagai senjata dan pemindahan warga secara paksa.
Gambaran kondisi itu nyata terlihat dari pemandangan di wilayah-wilayah pengungsian. Tepung yang berserakan dan potongan tubuh manusia terhampar di Rafah utara. Serangan udara Israel menghantam sebuah kendaraan tuk-tuk di dekat titik distribusi bantuan di wilayah Miraj.
Tujuh mayat tergeletak dalam berbagai posisi kematian mendadak, totalnya ada 11 orang yang tewas. Di latar depan, seorang pria berbaring di atas pria lain, ceceran darah merah membentang dari otak pria di bawahnya.
Di belakangnya terbaring seorang pria di sisinya. Aliran darah mengalir menjauh darinya juga. Pakaiannya tertutup debu putih, karena di belakangnya terdapat sisa-sisa karung tepung yang dibawanya.
Seekor kuda dan kereta berjalan dengan susah payah. Seorang anak laki-laki berjalan menjauh. Orang-orang di sekeliling tampak tercengang, tidak tahu harus berbuat apa. Tepung itu berharga. Kehidupan manusia tidak.
Saat hal ini terjadi, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan bahwa dia “senang dengan jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk oleh Israel”, dan tidak akan menerapkan sanksi seperti yang diancamkan negaranya pada 13 Oktober.
Para pejabatnya mengatakan Israel telah mengambil “langkah-langkah penting” untuk menanggapi kekhawatiran AS mengenai situasi kemanusiaan di Gaza, namun tidak menjelaskan lebih lanjut apa saja langkah-langkah tersebut.
Tidak diragukan lagi, Blinken berbicara dengan autopilot. Namun, optimismenya bahwa bantuan akan sampai tidak didukung oleh UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, yang melaporkan bahwa pada bulan Oktober jumlah makanan yang masuk ke Gaza adalah yang terendah dalam setahun.
Aksnkah Presiden Terpilih AS Donald Trump dapat meredam kondisi yang kian memicu terjadinya perang regional terbuka di kawasan itu. Merujuk kebijakan Trump pada masa jabatan sebelumnya dan kabinet yang mulai terbaca arah kebijakannya, rasanya tidak.
Dahulu Trump, dengan memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, mengizinkan Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan, dan menciptakan Perjanjian Abraham , masa jabatan pertama Trump menciptakan kondisi untuk serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober.
Pada masa jabatan keduanya nanti, dan dengan kabinet yang terdiri dari orang-orang yang mengulang rencana Israel untuk memperluas perangnya ke Suriah, Irak, dan Iran, nampaknya Trump justru cukup berpotensi memicu konflik regional di luar kendali Amerika maupun Israel.