Kekerasan Terhadap Jurnalis Cenderung Meningkat, Gejala Apa? 

Oleh: Rachmad Hidayat SH, Ketua DPW IWO Indonesia Jakarta Raya

Sebagai sebuah organisasi profesi wartawan yang didirikan dengan tujuan turut serta memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa, Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia yang dideklarasikan pertama kali pada Februari 2018 telah memiliki kepengurusan di lebih dari 20 Provinsi dan 200 kabupaten/kota.

Di dalam kiprahnya, IWO Indonesia selalu memberikan advokasi dan pembelaan terhadap jurnalis yang kerap mendapat hambatan, tantangan bahkan kekerasan saat menjalankan tugas-tugas jurnalis.

Dinahkodai seorang ketua umum yang memiliki leadership yang kokoh, NR Icang Rahardian SH,MH organisasi ini tampil solid dalam mengawal dinamika masyarakat di daerah-daerah.

Bacaan Lainnya

Seperti dimaklumi bersama, kecenderungan kekerasan terhadap insan pers belakangan ini meningkat secara sigmifikan. Dalam kurun waktu tiga bulan pertama tahun 2025, sedikitnya terdapat enam insiden serius yang melibatkan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia.

Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers yang merupakan salah satu pondasi demokrasi.

“Ini ancaman serius bagi keberlangsungan kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi di dalam negeri,” kata NR Icang Rahardian, Sabtu (12/4/2025).

Adapun insiden kekerasan pada jurnalis pertama terjadi pada 27 Februari 2025, di mana jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mendapat ancaman langsung dari ajudan Panglima TNI. Kejadian ini menandai awal dari serangkaian peristiwa yang mengkhawatirkan terkait keselamatan jurnalis.

Selanjutnya, pada 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo, menerima teror dalam bentuk kiriman kepala babi ke rumahnya. Tidak berhenti di situ, hanya berselang tiga hari, tepatnya 22 Maret, ia kembali menerima ancaman melalui pengiriman bangkai tikus.

Masih pada tanggal 22 Maret 2025, tercatat kasus kekerasan paling berat, yaitu dugaan pembunuhan atau femisida terhadap seorang jurnalis perempuan berinisial J, yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Laut. Insiden mengerikan ini memperkuat kekhawatiran akan ancaman nyata terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.

Beberapa pekan kemudian, pada 4 April 2025, seorang jurnalis berinisial SW ditemukan meninggal dunia di Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dalam kondisi yang masih diselidiki. Keesokan harinya, 5 April 2025, dilaporkan terjadi tindakan kekerasan fisik berupa pemukulan serta pengancaman terhadap sejumlah jurnalis oleh ajudan Kapolri saat peliputan di Semarang.

Paling akhir, kekerasan dialami salah seorang jurnalis anggota IWO Indonesia Kabupaten Subang, Jawa Barat. Hadi Hadrian (46) adalah Sekertaris DPD IWO Indonesia Kabupaten Subang, mendapat serangan brutal dari oknum preman di lokasi kandang ayam Desa Sukahurip, Kecamatan Cijambe Kabupaten Subang  pada Rabu siang 9 April 2025.

Dari kejadian tersebut, Hadi mengalami luka serius dimana hidungnya patah dan dadanya dipenuhi memar akibat pukulan bertubi-tubi, yang dilakukan oleh para pelaku.

Insiden-insiden tersebut mencerminkan bentuk intimidasi sistematis terhadap profesi jurnalis, yang tidak hanya berdampak pada individu korban, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem kerja jurnalistik di Indonesia.

Kekerasan yang dialami jurnalis harus dilihat sebagai serangan terhadap kemerdekaan pers secara menyeluruh. Untuk itu parat kepolisian diminta untuk menangani kasus-kasus tersebut secara serius, transparan, dan menyeluruh.

Icang Rahardian menilai fenomena berulangnya kekerasan terhadap jurnalis disebabkan lemahnya penegakan hukum. Penuntasan kasus kekerasan terhadao jurnalus yang lemah menjadi penyebab utama tidak berkurangnya kekerasan terhadap jurnalis.

Ia mengungkapkan sistem hukum di Indonesia masih belum berpihak sepenuhnya kepada korban, sehingga banyak pelaku kekerasan tidak mendapatkan hukuman yang sepadan atau bahkan lolos dari jerat hukum. “Kalau pun selesai, hukumannya dianggap ringan. Situasi ini saling terkait dan memperkuat kerentanan jurnalis dalam menjalankan tugasnya,” ucap Icang Rahardian.

Padahal, sesuai Pasal 18 Ayat 1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap tindakan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran hukum dan harus diproses secara pidana. Undang-undang ini secara tegas melindungi kerja-kerja jurnalistik dari segala bentuk intimidasi dan kekerasan.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih menghargai dan melindungi peran jurnalis sebagai pilar demokrasi.

Selanjutnya Kita mendorong agar semua pihak aparat penegak hukum, pemerintah menghormati menjamin dan melindungi kebebasan pers di Indonesia dalam menjalankan kerja-kerja jurnalisnya.

Pos terkait