Jurnalis: Deddy Emon
KEPRIMADONAAN Televisi Republik Indonesia (TVRI) tidak senantiasa menjadi raja yang tak tertumbangkan, terjawab sudah. Cikal bakal pesaing TVRI, dimulai dengan kemunculan RCTI sejak November 1988 (resminya: 24 Agustus 1989). TVRI terguncang lantaran pertama-tama, sejak 1 April 1981 TVRI tidak diperkenankan beriklan.
Menyadari kelahiran RCTI sebagai pesaing kue iklan, maka TVRI kembali meridhoi kemunculan iklan di layar kacanya. Iklan menjadi sah dan hadir terang terangan di TVRI.
Sejalan dengan kompromi TVRI terhadap iklan, muncul kemudian reaksi masyarakat yg seolah tidak rela dan khawatir. Opini pun berkembang. Disebut-sebut kemunculan iklan di televisi akan memicu masyarakat menjadi konsumtif. Tapi iklan tetap hadir. Terselubung atau terang-terangan.
Kontroversi tidak berkepanjangan.
Lahirnya banyak stasiun tivi swasta, menandai julukan TVRI sebagai simbol jagad pertelevisian Indonesia, berakhir. Ironi nasib yang diterima stasiun pemerintah itu pasang surut. Keberadaannya antara dibutuhkan atau tidak.
Status TVRI sebagai pegawai negeri atau BUMN hingga titik ini belum urung usai. Jika belakangan muncul gagasan di-perserokan, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Nyatanya hingga kini TVRI masih menyandang status pegawai negeri.
Selalu saja TVRI dalam lingkar ambigu: sifat mendua. Boleh komersil, tapi harus tetap ideal. Boleh menayangkan iklan, tapi bukan sembarang iklan. Maunya se-profesional model tivi swasta, tapi masih bisa minta bantuan dana negara.
Lajimnya iklan muncul jika acaranya diminati. Bukan semata jaringannya luas. Betapa pun jaringan luas, kalau paket acaranya engga ditonton, ya tetap aja mubajir. Boros. Sia-sia.
Lantas bagaimana kepastian status TVRI BUMN atau badan usaha lainnya? Di era tahun 1995 Harmoko (Menteri Penerangan) mengungkapkan, kemungkinan pengurangan jumlah karyawan jika TVRI menjadi BUMN. Pada sisi lain, Dirjen Radio Televisi dan Film, Drs Alex Leo Zulkarnaen, menyatakan, tak bakal ada rasionalisasi dalam tubuh TVRI, betapa pun TVRI menjadi status BUMN.
Dua petinggi Departemen Penerangan melontarkan itu, justru di forum terhormat DPR Komisi 1. Pertama, terjadi dalam raker 16 Maret 1995. Kedua, dalam rapat dengar pendapat 20 Maret 1995.
Begitulah TVRI. Kerap terbebani sifat ambigu. Bentuk BUMN atau perusahaan jawatan, atau persero misalnya, belum ada pilihan yang memutlakan.
Boleh komersial, tapi tetap ideal. Boleh tayangkan iklan, tapi bukan sembarang iklan. Maunya se-model dengan tivi swasta, tapi masih ambigu. Begitulah TVRI.**