Masuknya Budaya Asing Membentuk Budaya Baru di Nusantara, Bahayakah?

Oleh Hasan Munawar

Sebagai mahluk sosial, masyarakat selalu mengalami perubahan dalam hampir semua aspek kehidupannya. Perubahan itu mengalami dinamika yang terus menurus mengikuti perkembangan zaman. Perubahan yang terjadi lebih dipengaruhi oleh interaksi hubungan antar suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya, bahkan dengan masyarakat dari luar wilayah Nusantara.

Perubahan itu tak dapat dihindari, apalagi ditambah dengan perkembangan sarana dan prasana yamg berbasis teknologi. Lebih dahsyat lagi di era digital seperti beberapa dekade terakhir.

Oleh karenanya, masyarakat akan selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu guna dan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses perubahan sosial ini dapat terjadi melalui berbagai bentuk, di antaranya asmilasi dan akulturasi budaya.

Bacaan Lainnya

Asimilasi dan akulturasi adalah dua konsep yang berhubungan dengan perubahan sosial dalam masyarakat. Akan tetapi, kedua konsep tersebut memiliki perbedaan.

Antropolog Indonesia Koentjaraningrat berpendapat bahwa proses asimilasi timbul ketika ada kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan saling berinteraksi secara langsung dan terus-menerus dalam jangka waktu lama, kemudian kebudayaan masing-masing kelompok berubah dan saling menyesuaikan diri.

Dengan demikian, proses asimilasi memunculkan kebudayaan baru hasil dari percampuran kebudayaan di antara golongan atau kelompok yang saling bertemu.

Sementara pada akulturasi, unsur-unsur budaya asing tidak menggantikan atau menghilangkan keaslian budaya yang lama, tetapi justru hanya menambah dan memperkaya budaya asli.

Contoh asimilasi dan akulturasi
Contoh asimilasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari antara lain:

Kawin campur atau pernikahan beda ras/suku bangsa lain. Musik dangdut yang merupakan percampuran antara musik Melayu dan India.

Prasasti kuno peninggalan kerajaan Hindu-Buddha yang menggunakan bahasa klasik India, Sanskerta. Seni kaligrafi yang berasal dari Arab yang berkembang dalam kebudayaan Islam di Indonesia.

Tari Lenong yang merupakan hasil asimilasi kebudayan Betawi dan Cina.
Baju koko merupakan hasil asimilasi antara kebudayaan Cina dan Indonesia.

Sedangkan kondisi lain adalah seperti,
Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara unsur budaya agama Buddha dan unsur budaya Indonesia asli. Wayang merupakan wujud akulturasi kebudayaan Jawa yang diambil dari tokoh Semar, Gareng, Petruk, Bagong dengan mengangkat kisah dari kitab Ramayana dan Mahabharata asal India. Juga Wayang Potehi, kesenian asal Tionghoa yang berakulturasi dengan budaya Indonesia.

Sedang di bidang seni musik, keroncong yang merupakan hasil perpaduan antara musik Melayu dan musik Portugis yang dibawa para penjajah.

Dalam hal kepercayaan dan keyakinana contoh dapat dilihat dengan keberadaan Masjid Cheng Ho menjadi bentuk akulturasi Islam dan Tionghoa. Masjid Menara Kudus akulturasi antara Islam dengan Hindu-Jawa.

Lalu Seni kaligrafi yang merupakan bentuk akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Indonesia.
Kuliner seperti bakmi, pangsit, dan bakso termasuk bentuk akulturasi kebudayaan Tionghoa dan Indonesia.

Ketika suatu gemerasi kehilangan minat dan kebutuhan untuk melestarikan budaya leluhurnya, maka akan masuk budaya lain, yang memang bersifat penetrasi yang kuat ke dalam sebuah masyarakat. Walhasil, ketika disadari, merasa bahwa budaya asing telah menguasai kehidupanmya.

Sesungguhnya, perkembamgan suatu budaya itu mirip dengan perubahan iklim atau cuaca alam, yang pada hakikatnya akan selalu berganti mengisi satu sama lainnya. Tinggal masalahnya adalah bukan lagi bagaimana kita menyaring baik dan buruknya bagi kehidupan. Tetapi juga cocok atau tidaknya dengan karakter asli budaya Nusantara.

Namun sekali lagi, pembauran budaya tidak dapat dihindari dalam era globalisasi berbasis digitalisasi seperti saat ini. Justru upaya menolak akan terkesan exclusive dan cenderung menutup diri untuk perbaikan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Pos terkait