Oleh Hasan Munawar
Mak Tinah kini terbaring di kamar yang serba tertutup dari keriangan canda tawa tetangga sekitar. Ia sengaja mengurung diri jika hari beranjak siang dan menghindar bertemu orang-orang yang bergiliran datang menagih hutang.
Kondisi ini ia jalani sejak terlilit utang harian, mingguan bahkan bulanan dari kreditur keliling dari rumah ke rumah yang datang sejak pukul 9 pagi hingga pukul 16 sore.
Jumlah yang harus disetor pun bervariasi, ada Rp10.000, Rp15.000 dan Rp20.000, jika ditotal hingga sore hari bisa mencapai Rp150.000, jumlah yang mau tidak mau suka tidak suka harus ia bayarkan. Belum lagi jika harus membayar yang mingguan dan bulanan, maka jumlah itu lebih besar dari penghasilan harian yang didapat oleh suami bahkan anak-anaknya.
Wal hasil ia pun lebih mengutamakan membayar setoran kredit dari pada memenuhi kebutuhan dasar untuk keberlangsungan kehidupannya. Tak peduli sedang dalam keadaan kurang sehat atau bahkan sakitpun, membayar setioran lebih didahukukan dari pada untuk berobat.
Para kreditur ini tidak mau tau, tiap kupon tagihan harus dibayar tiap hari. Jika tidak para penagih yang rata-rata remaja belia asal Sumatera Utara ini tak segan-segan menghardik bahkan mencaci dengan logat yang khas keras menghujam hingga terdengar tetangga sekitar.
Hati mak Tinah ciut dan gentar, bahkan kerap menangis ketika menghadapi penagih kredit seperti ini. Namun apapun ia harus hadapi meski kadang keputus asaan kerap melintas dalam benak pikiran untuk lari dari rumah hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Sesungguhnya mak Tinah bukanlah ibu rumah tangga yang miskin-miskin amat, suaminya bekerja dan masih memberi nafkah dan anak-anaknya masih menanggung sebagian kebutuhannya. Jika diukur untuk belanja makan sehari-hari lebih dari cukup. Namun tetap saja, seperti ibu-ibu rumah tangga kanan kirinya, tak dapat menghindar dari jebakan utang kreditur harian ini.
Kondisi mak Tinah bisa jadi gambaran sebuah potret kondisi riil masyarakat pinggiran kota. Mereka terlibat utang kreditur (bank) keliling karena berusaha bertahan hidup. Tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi dari hasil nafkah suami dan bantuan anak-anaknya, namun itu hanya cukup untuk belanja makan minum sehari-hari. Tapi ketika dihadapkan pada kebutuhan mendadak dan harus dipenuhi, maka mau tidak mau ambil jalan singkat berutang kepada kreditur keliling ini.
Ada banyak pelaku bisnis memutar uang dengan cara seperti ini. Mereka sengaja mentargetkan ibu-ibu rumah tangga pada pagi hingga siang hari saat para suami sedang tidak ada di rumah. Dari yang berbentuk koperasi tanggung renteng hingga pinjaman yang harus dibayar harian dan mingguan.
Antara yang satu dengan yang lainnya pada gilirannya saling berkontribusi untuk mendapatkan nasabah. Bisa jadi awalnya hanya mengambil dana pinjaman koperasi tanggung renteng, di mana jika salah satu anggota atau nasabah tidak dapat membayar, maka itu harus ditanggung oleh anggota lain dalam satu kelompok peminjam. Biasanya satu kelonpok terdiri dari sepuluh orang. Artinya, pelaku usaha ini hanya memutar uang dan menariknya tanpa sedikitpun resiko tidak terbayar.
Dari situ, saat tempo pembayaran koperasi tanggung renteng, seorang anggota nasabah akan berurusan dengan anggota lain dalam kelompoknya jika tidak bisa membayar, maka inilah kemudian yang memaksa akhirnya menyambar pinjaman kreditur keliling harian tadi.
Demikian lubang utang kian menganga dan semakin melebar. Para kreditur itu tidak peduli dengan kondisi ini karena memang kondisi demikian adalah ladang empuk bagi usahanya.
Begitulah yang dialami mak Tinah saat ini. dan itu bisa jadi juga dialami oleh mak Tinah mak Tinah lainnya.
Satu dekade lebih kondisi riil warga masyarakat bawah ini nyaris luput dari perhatian para pemangku kebijakan baik di daerah maupun di pusat. Seolah warga masyarakat sebagai warga negara berjalan sendiri tanpa adanya perlindungan dari negara. Bantuan sosial hanya sesaat dibarter dengan kebijakan pencabutan subsidi dan kenaikan pajak.
Jejaring pengaman sosial kini compang camping oleh kesibukan pergulatan politik dan kepentingan, sehingga kondisi masyarakat bawah bukan lagi menghadapi kegelisahan, bahkan kian menjadi kekalutan.
Oleh: Hasan Munawar
Redaktur Eksekutif INTIP24 News