Akhirnya MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen

JAKARTA | INTIP24 News – Setelah melewati waktu yang cukup panjang, polemik ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berakhir dengan dikabulkannya uji materi atau judicial review Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal itu mengatur soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

MK menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.

Menurut pasal itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mau berkontestasi harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Putusan dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 itu diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1).

Ia menegaskan semua pihak termasuk pemerintah terikat dengan putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun. Pemerintah, kata dia, menyadari permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir dikabulkan.

Pemerintah, lanjut Yusril, melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

“Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” ucap Yusril.

“MK berwenang menguji norma Undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sambungnya.

Yusril mengatakan setelah ada tiga putusan MK nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.

“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ucap Yusril.

“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” pungkasnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna.

Guna mencegah menjamurnya pasangan calon, MK merekomendasikan lima poin yang termuat dalam rekayasa konstitusional atau constitutional engineering.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memimpin Sidang Pleno Pengucapan Putusan Perkara No. 127/PUU/-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi pada Kamis 14 November 2024.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis, 2 Januari 2024.

Suhartoyo mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Serta tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sementara itu, hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.

Dia mengatakan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945.

“Presidential threshold berapa pun besarnya atau angka presentasinya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945,” ucapnya.

Pos terkait