JAKARTA | INTIP24 News – Perselisihan hasil Pilpres 2024 diajukan dua kandidat calon presiden dan wakil presiden, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (kubu 01) serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD (kubu 03).
Kubu 01 dan kubu 03 menggugat hasil Pilpres karena mereka mengendus banyak kejanggalan dalam prosesnya mulai dari isu cacat etik dan moral, politisasi bantuan sosial alias bansos, hingga dugaan pengerahan aparat untuk memenangkan salah satu kandidat.
Menariknya, di tengah proses sengketa Pilpres, puluhan orang, entah yang secara tersirat terafiliasi dengan para paslon maupun secara sukarela, mengajukan diri sebagai amicus curiae.
Pengajuan amicus curiae disebut memecahkan rekor. MK bahkan mengakui bahwa banjir pengajuan diri sebagai amicus curiae menunjukkan betapa besarnya antusiasme publik terhadap perkara sengketa Pilpres 2024.
Sejumlah tokoh berupaya ‘mengetuk’ moral hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan alias amicus curiae. Ada sebanyak 33 pengajuan.
Jumlah ini paling banyak dalam sejarah peradilan, khususnya di perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024.
“Ini menunjukkan atensi publik dan masyarakat luas yang ikut memonitor perkara yang disidangkan MK,” ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, Kamis (18/4/2024) kemarin.
Kendati demikian, dalam sejarah peradilan konstitusi di Indonesia, tidak banyak atau bahkan mungkin belum pernah ada yurisprudensi hakim konstitusi memutus sebuah perkara berdasarkan pengajuan amicus curiae.
Apa Itu Amicus Curiae
Amicus curiae sendiri secara harfiah bisa dimaknai sebagai ‘friends of the court’ yang mulai dipraktikan di Eropa pada abad ke 9. Ada versi yang menyebutnya pada era Romawi.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, setidaknya berdasarkan dokumen dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disampaikan ke MK, ada tiga landasan hukum yang menjadi dasar pengajuan amicus curiae.